Turun turun sintren
Sintrene widadari
Nemu kembang yun ayunan
Kembange batara indra
Nemu kembang yun ayunan…
Nyanyian itu melengking pilu nyaring dari mulut para juru kawih, berulang dalam dinginnya udara malam yang kering di daerah pantai utara, mengiringi gadis penari yang dimasukkan ke dalam kurung ayam berhias kain rumbai-rumbai berwarna dominan putih. Asap dupa beraroma mistis seperti menyeringai di depan kurungan ayam itu, mengundang kehadiran makhluk-makhluk tak kasat mata untuk berpartisipasi aktif dalam pesta rakyat itu.
Sang gadis penari, sebelumnya berpakaian sehari-hari a la Cirebonan, tanpa make-up, dililit tambang dari leher hingga kaki, dengan segenap kesadarannya dituntun oleh sang pawang ke dalam kurungan itu, bersama dengan sepaket kostum dan alat kosmetik. Tak berapa lama kurungan ayam itu dibuka. Tampaklah ia berubah kostum, menjadi bermake-up tebal, berkacamata hitam, berbaju tanpa lengan seperti kostum wayang orang, bercelana hitam ¾, dengan sabuk lebar dari kain yang menyangga sampur yang melilit pinggang, berhiaskan untaian melati di kanan kiri mahkota, dan berkaos kaki hitam putih, namun tetap terduduk terikat tali.
Kurungan itu ditutup kembali, dengan alunan tembang sintren yang semakin menyayat malam. Begitu sangkar ayam itu bergetar bergoyang, pawang mengangkatnya. Gadis itu tak lagi terikat. Ia bangun dan langsung menari seiring hentakan gamelan, dengan koreografi yang lebih mirip perpaduan antara tarian ondel-ondel dan dewa mabuknya Kungfu Master, daripada tari tradisional dengan beragam pakem gerak estetisnya. Ya, ia tengah dirasuki makhluk tak kasat mata, sang widadari, yang semenjak awal pertunjukan telah mendapat undangan melalui kemenyan itu. Geraknya konsisten dengan ketidak-konsistenan gaya tariannya. Kacamata hitam yang sebenarnya berfungsi menutup mata sang penari yang tertutup saat dirasuki itu menjadi salah satu daya tariknya.
Sesekali ia terkulai lemah, pingsan, begitu sebuah balangan atau lemparan koin penonton mengenai tubuhnya. Entah kenapa itu terjadi. Yang jelas, sang pawang segera menyangga tubuhnya, mengasapi tangannya dengan kemenyan dan mantra-mantra. Gadis sintren kembali menari malas begitu wajahnya diusap pawang, sebagai cara agar roh bidadari merasukinya kembali, dan begitu seterusnya hingga pertunjukkan berakhir. Meskipun terlihat monoton, namun inilah inti dari kesenian mistis ini.
Di akhir pertunjukan yang cukup lama ini, sang sintren berkeliling di antara penonton meminta semacam tondo tresno berupa uang ala kadarnya dengan menggunakan nampan, atau disebut sebagai temohan. Setelah itu ia akan dibimbing kembali oleh pawangnya menuju kurungan ayam, dimasukkan beserta pakaian sebelumnya. Pawang itu lalu berjalan mengelilingi kurungan ayam sambil membawa dupa berasap dan membisikkan mantra-mantra. Kurungan itu dibuka, dan tampaklah penari sintren yang kembali berpakaian biasa namun belum juga tersadar. Prosesi itu diulang, tangan sang gadis penari ditaruh di atas kemenyan, dimantrai, hingga ia tersadar kembali. Derap tangan manusia-manusia yang bertepuk pun menjadi tanda akhir dari pertunjukan kesenian mistis di sebuah hajatan itu.
Pusat dari kesenian khas masyarakat pesisir utara jawa ini adalah perasukan “bidadari” ke dalam tubuh penari sintren. Hal ini mengingatkan akan permainan mistis tradisional masyarakat jawa lainnya, jelangkung. Perbedaanya cukup jelas, selain memiliki unsur kesenian, sintren ini pun memiliki media trance yang berbeda dan hidup: manusia.
Ada bermacam cerita rakyat yang bisa menjelaskan tentang asal mula sintren, yang beberapa berupa legenda serupa Cinderela namun dengan kasih yang tak sampai. Menurut seorang pegiat kesenian ini, sintren bermula sebagai permainan rakyat pesisir, terutama wanita dan anak-anak, untuk mengusir kebosanan dan menghabiskan waktu menunggu suami dan ayah mereka pulang melaut. Permainan ini berubah menjadi adat kebiasaan yang dilakukan hampir tiap sore. Masyarakat kala itu yang memang sangat terbatas dalam akses hiburan, melihat sintren sebagai sebuah seni hiburan baru yang memuaskan dahaga mereka. Hukum ekonomi berlaku, dimana ada permintaan, di sana ada penawaran, dan terjadilah transaksi. Lama kelamaan, permainan sintren ini berubah menjadi sebuah bentuk seni pertunjukan keliling yang cukup memberikan jaminan nafkah kepada para nelayan pelaku seni sintren itu, yang membuatnya semakin tersohor di seantero pantai utara.
Cerita rakyat mengenai asal-usul kesenian ini berkisah tentang percintaan Sulandono, seorang putra penguasa, dengan Sulasih, gadis biasa dari desa Kalisalak. Ki Baurekso yang tak sudi putranya mengawini gadis jelata kemudian mencoba memisahkan mereka, sementara istrinya Dewi Rantamsari justru menginginkan mereka bersatu. Rintangan yang kuat itu membuat Sulandono memilih jalan hidupnya menjadi seorang pertapa, sedangkan Sulasih menjadi penari.
Dewi Rantamsari mencoba memberi solusi alternatif. Ia memasukkan roh widodori ke tubuh Sulasih ketika ia tengah menari, dan pada saat yang sama, isteri Ki Baurekso itu akan memanggil roh Sulandono yang tengah bertapa untuk dipertemukan dengan roh kekasihnya itu. Kasih tak sampai itupun berpadu di alam arwah. Begitulah, hingga akhirnya kesenian sintren pun identik dengan perasukan roh “bidadari”.
Legenda lainnya memang tak jauh berbeda, seputar kasih tak sampai kaum ningrat dan rakyat jelata. Namun kisah ini memiliki keunikan dalam segi fungsi yang bisa menjadi jawaban pertanyaan kenapa penari sintren haruslah seorang perawan, ditambah juga dengan latar sejarah yang dimilikinya.
Berkisah tentang terpecahnya keraton Kasepuhan menjadi dua bagian di tahun 1697 sepeninggal Sultan Sepuh I, akibat konspirasi Belanda yang telah merasuki kehidupan keraton hingga lingkaran pusat istana. Masing-masing dikuasai oleh Pangeran Aria Cirebon dan Pangeran Dipati Anom. Situasi politik yang suram itu membuat seorang ningrat seperti Raden Sintren lebih memilih jalan pertapaan.
Dari kesunyian kontemplasi spiritualnya, bertemulah ia dengan seorang gadis suci dari kalangan jelata, Lais. Ia adalah seorang perawan yang telah mengalami pencerahan spiritual karena telah menjalani amalan kebatinan tingkat tinggi dengan disiplin. Raden Sintren pun terpesona cahya semburat dari jiwa Lais. Sayangnya, kisah cinta dua kelas sosial yang jauh berbeda tak pernah berjalan mulus.
Untuk merintangi kisah cinta ini, Mbah wirogandul diperintahkan oleh Raden Ayu Rara Rainara untuk melakukan ritual pengujian keperwanan terhadap Lais, dengan harapan akan memberikan hasil yang bisa menghalangi percintaan anaknya dengan gadis kaum papa itu.
Di malam bulan purnama itu, tubuh Lais yang telanjang diikat tali rotan yang panjang di seluruh tubuhnya dengan mata yang ditutup stagen. Air kembang tujuh rupa disiramkan ke kepala gadis suci yang telah dimasukkan ke kurungan ayam itu, disertai mantra-mantra kuno dari mulut Mbah Wirogandul. Para nayaga mulai memainkan gamelannya bertalu-talu dengan syair monoton yang mengalun mencekam: turun turun sintren/sintrene widadari…
Setelah beberapa saat terduduk bersila bersemedi membisikkan mantra, dengan isyarat tangannya Mbah Wirogandul menghentikan paduan suara mistis itu. Sedikit menjelaskan, ia mengatakan bahwa jika setelah kurungan ayam dibuka yang muncul adalah sesosok bidadari bergaun pengantin, maka sang perempuan itu masih suci. Tapi sebaliknya, jika Lais memang sudah ternoda, maka yang muncul adalah perempuan yang terikat rotan, berbau busuk, dengan dikerubuti ribuan ulat.
Yang terjadi kemudian adalah sebuah ketakjuban. Dari dalam kurungan ayam itu, sesosok widadari Lais bergaun pengantin anggun bercahaya, menari tanpa henti. Raden Sintren yang terpesona mencoba mendekat dan menyentuhnya. Namun alangkah malangnya, setiap kali tersentuh, Lais mendadak pingsan, dan terus berulang. Sang Lais kini tak bisa tergapai makhluk fana manapun, meski atas nama cinta. Rohnya kini seolah moksa, menjadi milik semesta.
Dari kisah-kisah dan legenda tentang asal mula sintren yang berbeda-beda itu pada dasarnya memiliki benang merah. Bahwa tarian ini adalah milik kaum jelata, yang tertindas oleh masa dan kaum penjajah, apapun jenisnya. Ia seperti sebuah perlawanan kultural kaum papa terhadap belenggu hierarki kasta yang perkasa, yang secara sepintas memang seperti tak pernah menghasilkan kemenangan. Akan tetapi ia tetap bertahan melalui berbagai masa dengan caranya sendiri, sepanjang semangat perlawanan itu tetap ada di hati para jelata.
Namun yang terjadi saat ini sungguh berbeda. Kesenian ini seolah bisa dilakukan siapa saja, kapanpun, dan dengan cara yang cukup melenceng dari pakemnya, tanpa memedulikan unsur-unsur prosedural mistisme yang terkandung sebagai jiwanya. Perubahan esensi sintren ini sepertinya merupakan tuntutan zaman yang semakin dilanda budaya pop yang komersil. Tak heran bila ia kini tak beda dengan pertunjukan organ tunggal yang cuma berfungsi sebagai lahan mencari nafkah dan untuk meninabobokan kaum pedesaan yang haus hiburan. Bukan bersikap skeptis, karena kita akan cukup merasakan seberapa kuatkah aura mistis yang berada di arena pertunjukan kesenian ini, atau seberapa baguskah akting kesurupan sang penari sintren itu. Meminjam tagline iklan sebuah produk kontrasepsi: “Karena rasa adalah segalanya”.
sumber : http://matakita.net/post/sintren-perlawanan-jelata-yang-semakin-memudar.html